12 Februari 2009

keadaan keagamaan

Keadaan Keagamaan Bangsa Arab Sebelum Terbitnya Islam (1/2)
Posted on July 9th, 2006 by admin
(red. vbaitullah.or.id): Memasuki artikel perdana dalam kategori “Sirah Nabi” yang membahas sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam. Allah menghendaki bahwa beliaulah yang membawa syari’at-Nya yang dengan itu, wajah dunia pada saat itu berubah menjadi jauh lebih terang, beradab dan lingkungan hidup yang jauh lebih baik. Untuk menggambarkann hal itu, maka hal yang perlu digambarkan secara ringkas pertama kali adalah keadaan Dunia, khususnya bangsa Arab, sebelum munculnya Islam.
Sebelum kedatangan Islam sebagai rahmat Allah untuk alam semesta ini,Jazirah Arab telah dihuni oleh beberapa ideolgi, keyakinan keagamaan.Agama-agama yang sudah ada pada sata itu ialah :

Yahudi.
Agama ini dianut orang-orang Yahudi yang berimigrasi ke Jazirah Arab.Daerah Madinah, Khaibar, Fadk, Wadi Al Qura dan Taima’ menjadi pusatpenyebaran pemeluknya.
HREF="#foot131">2 Yaman juga dimasuki ajaran ini, bahkan Raja Dzu Nuwas Al Himyarijuga memeluknya. Bani Kinanah, Bani Al Haarits bin Ka’ab dan Kindahjuga menjadi wilayah berkembangnya agama Yahudi ini.HREF
Nashara (Kristen).
Agama ini masuk ke kabilah-kabilah Ghasasinah dan Al Munadzirah. Adabeberapa gereja besar yang terkenal. Misalnya, gereja Hindun Al Aqdam,Al Laj dan Haaroh Maryam. Demikian juga masuk di selatan Jazirah Arabdan berdiri gereja di Dzufaar. Lainnya, ada yang di ‘And dan Najran.Adapun di kalangan suku Quraisy yang menganut agama Nashrani adalahBani Asad bin Abdil Uzaa, Bani Imri-il Qais dari Tamim, Bani Taghlibdari kabilah Rabi’ah dan sebagian kabilah Qudha’ah.
Majusiyah
Sebagian sekte Majusi masuk ke Jazirah Arab di Bani Tamim. Diantaranya,Zaraarah dan Haajib bin Zaraarah. Demikian juga Al Aqra’ bin Haabisdan Abu Sud (kakek Waki’ bin Hisan) termasuk yang menganut ajaranMajusi ini. Majusiyah juga masuk ke daerah Hajar di Bahrain.
Syirik (Paganisme).
Kebanyakan bangsa Arab menyembah patung berhala, bintang-bintang danmatahari yang oleh mereka dijadikan sebagai sesembahan selain Allah.Penyembahan bintang-bintang juga muncul di Jazirah Arab, khususnyadi Haraan, Bahrain dan di Makkah, mayoritas Bani Lakhm, Khuza’ah danQuraisy. Sedangkan penyembahan matahari ada di negeri Yarnan.
Dahulu, kebanyakan bangsa Arab mengikuti agama Nabi Ibrahim dan dakwahNabi Isma’il, mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dalamseluruh peribadatan. Setelah melewati beberapa masa, aqidah tauhidluntur. Meski demikian, mereka masih memiliki tauhid dan sebagiansyiar agama Nabi Ibrahim sampai kota Makkah dikuasai Bani Khuza’ah.Bani Khuza’ah menguasai Ka’bah selama kurang lebih tiga ratus tahunatau lima ratus tahun. Mulai terjadinya penyembahan terhadap berhala(paganisme) di kalangan bangsa Arab, saat Bani Khuza’.ah dipimpinAmru bin Luhai Al Khuza’i.
Kisahnya sebagaimana disampaikan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab AnNajdi, sebagai berikut :

"Adapun kisah Amru bin Luhai dan perubahan agama Nabi Ibrahim,bahwa ia seorang yang berkembang dalam sifat baik dan dermawan, sertamemiliki semangat agama yang tinggi, sehingga orang-orang sangat mencintaidan mengikutinya. Karena sifat yang baik inilah, mereka mengangkatnyasebagai pemimpin. Dia pun menjadi penguasa Makkah dan Ka’bah. BangsaArab menganggapnya sebagai ulama besar dan wali.


"Pada suatu waktu, ia bepergian ke negeri Syam. (Di sana),ia melihat mereka (ahli Syam) menyembah patung berhala. Kemudian iamenganggap hal itu baik dan menyangkanya sebagai suatu kebenaraan,karena Syam adalah tempat para rasul dan turunnya kitab suci, sehinggamereka memiliki keutamaan dalam hal itu daripada ahli Hijaz dan yanglainnya.


"Dia pun kembali ke Makkah, (sambil) membawa patung Hubaldan menempatkannya di dalam Ka’bah, serta mengajak ahli Makkah untukberbuat syirik. Ajakan itu mereka terima. Sedangkan ahli Hijaaz mengikutiahli Makkah dalam agama, karena ahli Makkah adalah pemilik Ka’bahdan penduduk tanah suci".Kemudian Amru bin Luhai mendapatkan patung-patung kaum Nabi Nuh yangtelah terpendam akibat banjir taufan dan membagi-bagikan patung tersebutkepada kabilah-kablah Arab. Hal ini diceritakan oleh Syaikh Muhammadbin Abdul Wahab:

"Amru bin Luhai adalah seorang dukun yang memiliki jin. Berkatalahjin tersebut kepadanya:
"Percepat perjalanan dan kepergianmu dari Tuhamah dengankebahagian dan keselamatan. Datangilah Jeddah, nanti kamu akan menemukanpatung-patung yang telah jadi. Bawalah ke Tuhamah, dan jangan hadiahkan.Serulah bangsa Arab untuk menyembahnya, nanti mereka akan menerimanya,"
Lalu ia mendatangi Jeddah dan mencari patung-patung tersebut dan membawanyake Tuhamah. Ketika datang musim haji, maka ia mengajak bangsa Arabuntuk menyembahnya".
Oleh karena itu Rasulullah bersabda :Aku melihat Amru bin A’mir bin Luhai menyeret ususnya di neraka, Patung-patung tersebut adalah Wadd, Suwaa’, Yaghuts,Ya’uq dan Nasr. Allah menyebutkan dalam flrmanNya, (artinya):Dan mereka berkata "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan(penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan(penyembahan) Wadd. Dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr".(QS Nuh : 23). Kemudian paganisme merambah ke seluruh bangsa Arab. Hingga akhirnya,setiap rumah memiliki berhala sendiri-sendiri dari berbagai macambenda yang mereka ciptakan sendiri-sendiri. Abu Ar Raja’ Al ‘Atharisimenceritakan :Kami menyembah sebuah batu. Jika kami dapati batu lain yang lebihbagus, maka kami buang (yang pertama) dan kami ambil yang kedua. Jikakami tidak mendapati batu, maka kami kumpulkan tanah dan kami bershadaqahdengan susu, dan kami thawafi (kumpulan tanah tersebut).Diantara mereka ada yang menyembah pohon atau malaikat, dan menyatakanmalaikat adalah anak perempuan Allah, sebagaimana dikisahkan Al Qur’an,artinya : Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki’laki dan untuk Allah (anak)perempuan? (QS An Najm:2l). Ada juga yang menyembah jin, lalu jinnya masuk Islam, dan penyembahnyamasih menyembahnya. Ibnu Mas’ud menyatakan:Dulu ada sejumlah orang yang menyembah sejumlah jin, lalu jin tersebutmasuk Islam dan mereka (para penyembahnya) tetap berada pada agamamereka. Lalu turunlah firman Allah, (artinya): Orang-orang yang merekaseru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNyadan takut akan adzabNya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatuyang (harus) ditakuti. (QS Al Isra’: 57). Tentang penyembahan mereka kepada malaikat dan jin, telah Allah kisahkandalam firmanNya, (artinya): Dan (ingatlah) hari (yang pada waktu itu) Allah mengumpulkan merekasemuanya, kemudian Allah berfirman kepada malaikat’- "Apakahmereka ini dahulu menyembah kamu?" Malaikat-malaikat itumenjawab : "Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukanmereka, bahkan mereka telah menyembah jin, kebanyakan mereka berimankepada jin itu". (QS Saba’:40-4l). Bangsa Arab memiliki thaghut-thaghut, berupa rumah keramat bah. Diantaranya Al Laata dan Uzza. Mereka memperlakukannyasebagaimana memperlakukan Ka’bah.
Al Hunafa’Meskipun pada waktu hegemoni paganisme di masyarakat Arab sedemikiankuat, tetapi masih ada beberapa orang yang dikenal sebagai Al Hanafiyunatau Al Hunafa’. Mereka tetap berada dalam agama yang hanif, menyembahAllah dan tidak menyekutukanNya serta menunggu datangnya kenabian. Diantara mereka adalah Qiss bin Sa’idah Al lyaadi, Zaid bin ‘Amrubin Nufail, Waraqah bin Naufal, Umayah bin Abi Shalt, Abu Qais binAbi Anas, Khalid bin Sinan, An Nabighah Adz Dzubyani, Zuhair bin AbiSalma, Ka’ab bin Luai bin Ghalib, Umair bin Haidab Al Juhani, ‘Adibin Zaid Al ‘Ibadi, penyair Zuhair bin Abi Salma, Abdullah Al Qudhaa’i,Ubaid bin Al Abrash Al Asadi, Utsman bin Al Huwairits, Amru bin AbasahAl Sulami, Aktsam bin Shaifi bin Rabaah dan
Abdul Muthalib kakek Rasulullah.
Pengembaraan Gagasan Protestanisme Islam
ARTIKEL ini menganalisis pemikiran keagamaan tiga intelektual Iran: Sayyid Jamâl al-Dîn al-Afghânî (1838-1897), Ali Sharî’ati (1933-1977), dan Hashem Aghajari (1955-sekarang). Ketiganya dinilai sebagai Muslim Luther atas apresiasi mereka yang tinggi terhadap Martin Luther dan Reformasi Protestan abad ke-16 di Eropa dan seruan mereka atas Protestanisme Islam di Iran. Namun, artikel ini tak bermaksud membandingkan dua reformasi keagamaan di Eropa dan Iran. Ia lebih menganalisis pengembaraan gagasan Protestanisme Islam dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari.
Traveling theory Edward Said (1984) dipakai untuk menganalisis gerak sejarah-dinamis gagasan Protestanisme Islam "dari orang ke orang, situasi ke situasi, dan dari satu periode ke periode lain". Seperti halnya Traveling Theory mengalami revisi ulang, gagasan Protestanisme Islam mengalami modifikasi, penafsiran ulang, dan penyegaran kembali setelah terjadi pengembaraan sebagai tanggapan atas tantangan berbeda-beda.
Afghânî: awal Muslim Luther Iran
Afghânî lahir pada tahun 1838 di Desa Asadabad, dekat Kota Hamadan, Iran, memiliki nama asli Sayyid Jamâl al-Dîn Asadâbâdî. Nama Afghânî hanya dipakai tahun 1869 untuk memikat dan memengaruhi lebih luas kalangan Muslim Sunni. Di dunia Islam, nama Sayyid diindikasikan punya garis keturunan ke Nabi Muhammad. Ayahnya, Sayyid Safdar, memang berasal dari kalangan terhormat Sayyids Shi’ah dan memiliki kedekatan dengan 12 imam Shi’ah, terutama Shaikh Murtazâ Ansârî. Dari ayahnya, ia belajar bahasa Arab, Al Quran, dan fikih, di samping menempuh pendidikan Shi’ah di Qazvin, Teheran.
Masa pembentukan awal di lingkungan Shi’ah membuat Afghânî tertarik pada filsafat Islam, terutama dalam tradisi Ibn Sînâ. Baginya, filsafat Islam adalah jalan menuju rasionalitas dan instrumen pengetahuan untuk mengubah masyarakat dari situasi kejumudan menuju kemajuan. Ia tegaskan "(Filsafat) adalah penyebab pertama aktivitas intelektual manusia... dan argumen terbesar untuk mentransformasi suku bangsa dan masyarakat dari keadaan nomadisme dan kekejaman menuju kebudayaan dan peradaban".
Melalui sentuhan filsafat, Islam dan akal atau ilmu pengetahuan modern bisa berjalan seiring. Tahun 1883, ia menulis artikel Answer to Renan di Journal des Débats (18 Mei 1883) sebagai respons kritis atas pidato Ernest Renan, Islam and Science, di Sorbonne dan publikasinya di Journal des Débats (29 Maret 1883). Afghânî menolak dua hal. Pertama, prasangka negatif Renan bahwa Islam bermusuhan dengan ilmu pengetahuan. Kedua, asumsi rasialis Renan bahwa orang Arab bermusuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktanya, ia berargumen, "seseorang tak dapat membantah bahwa melalui (pendidikan) agama-entah itu Muslim, Kristen, entah penganut Pagan-semua bangsa telah bangkit dari barbarisme bergerak menuju peradaban lebih maju.... Di sini saya memohon kepada Tuan Renan tidak memandang agama orang Muslim (Islam) sebagai penyebabnya, tetapi lebih karena ratusan juta manusia yang hidup dalam barbarisme dan ketidaktahuan". Afghânî menilai Islam dan Muslim sebagai dua entitas yang evolutif dan, karenanya, bergerak dari barbarisme menuju peradaban. Inilah yang dapat dilihat melalui kejayaan zaman keemasan Islam klasik: bercirikan peradaban modern, pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, kuatnya militer, dan kemakmuran ekonomi.
Itu sebabnya Afghânî menangkis asumsi rasialis Renan: "tak seorang pun dapat membantah bahwa orang Arab, selagi masih dalam kondisi barbarisme, segera berproses menuju tahap intelektual dan kemajuan ilmiah dengan kecepatan yang hanya disejajarkan dengan kecepatan daerah-daerah taklukannya. Hanya dalam tempo satu abad, orang Arab merebut dan mengasimilasi hampir semua ilmu pengetahuan orang Yunani dan Persia yang berkembang lambat-laun selama berabad-abad di tanah asalnya, seperti halnya mereka memperluas dominasi wilayah kekuasaannya dari jazirah Arab, pegunungan Himalaya, sampai ke puncak Pyrene".
Di samping pengaruh filsafat Islam, keyakinan Afghânî terhadap akal juga dipengaruhi penulisan sejarah Francois Guizot (1787-1874). Guizot dikenal sebagai sejarawan Perancis, negarawan dan keturunan keluarga Protestan, yang menyampaikan pidato sejarah peradaban Eropa abad ke-19. Keyakinannya pada akal dan solidaritas sosial sebagai sumber kemajuan Barat menginspirasi Afghânî menafsirkan kembali Islam sebagai keyakinan terhadap akal, kemajuan, dan peradaban ketimbang sejumlah doktrin keagamaan yang dogmatis. Inilah kesimpulan penting Hourani (2002: 114): "Ide Peradaban adalah salah satu yang berpengaruh di Eropa abad ke-19 dan melalui Afghânî, ide itu sampai di dunia Islam. Ide itu disampaikan oleh Guizot dalam pidatonya tentang sejarah peradaban di Eropa. Afghânî telah membaca Guizot dan terpesona olehnya. Karya itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 1877 dan Afghânî mengilhami muridnya, ’Abduh, menulis artikel sebagai sambutan atas terjemahan sekaligus penjelasan rinci tentang doktrin buku tersebut."
Menurutnya, seruan menafsirkan kembali Al Quran yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban dapat mengantar pada reformasi Islam model Protestan. Afghânî benar-benar dipengaruhi Guizot yang melihat Reformasi Protestan sebagai faktor menentukan yang mengantar Eropa ke kemajuan dan peradaban modern. Afghânî mengakui: "tak terbantahkan bahwa Guizot... berkata sebagai berikut: salah satu penyebab utama kemajuan peradaban Barat adalah munculnya kelompok yang mengatakan, ’meskipun agama kita Kristen, kita mencari pembuktian atas hal-hal mendasar dalam keyakinan kita’. Para Imam tidak memberi izin dan mereka berkata agama (Kristen) disandarkan pada imitasi. Ketika sebuah kelompok di atas menjadi kuat, gagasan mereka pun menyebar; rasio membebaskan diri dari belenggu kebodohan dan kemajalan (berpikir) menuju pergerakan dan kemajuan; dan orang-orang berikhtiar meraih berkah peradaban".
Mirip para imam dalam Kristen, Afghânî yakin ulama konservatif menjadi penyebab jatuhnya peradaban Islam selama berabad-abad. Hak memeluk Islam dengan penalaran demonstratif tidak lagi diperkenankan otoritas ulama karena pintu ijtihad dinyatakan tertutup. Pilihan antara mengikuti otoritas keagamaan atau akal pikiran benar-benar berada dalam gugatannya. Terinspriasi oleh Luther, yang secara terbuka menggugat otoritas imam dalam Gereja, Afghânî mulai menggugat konservatisme ulama. Baginya, reformasi dan kemajuan Islam tak akan pernah terwujud jika ulama tetap memelihara pandangan keislaman yang konservatif. Ia pun berjuang mendobrak konservatisme Islam, stagnasi keagamaan (jumud), dan imitasi buta (taklid), yang ia nilai sebagai musuh Islam yang benar. Afghânî lebih mengimani Islam sebagai agama yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban yang dapat mengantar pada terwujudnya reformasi Islam model Protestan. ’Abd al-Qâdir al-Maghribî, yang mencatat perbincangan Afghânî’ dengan sejumlah murid dan koleganya di Istanbul, Turki (1892-1897), bertanya kepadanya tentang metode yang tepat mencapai kemajuan modern-Barat. Afghânî menjawabnya: "Ini harus melalui gerakan (reformasi) keagamaan... jika kita mempertimbangkan argumen di balik transformasi kondisi Eropa dari barbarisme menuju peradaban, kita melihat bahwasanya hal itu semata-mata dipicu gerakan keagamaan yang dipelopori dan disebarkan oleh (Martin) Luther. Manusia hebat ini-ketika dia melihat bahwasanya orang Eropa mengalami kemerosotan dan kehilangan vitalitas akibat periode lama yang mereka persembahkan kepada pemimpin gereja dan imitasi keagamaan, bukan disandarkan pada penalaran akal yang jelas-memulai gerakan keagamaan (Reformasi Protestan).... Dia (Luther) mengingatkan orang Eropa bahwasanya mereka dilahirkan dalam keadaan bebas dan mengapa mereka menyerahkan diri kepada para tiran.
Karena itu, Afghânî menganggap Luther sebagai pahlawan besar. Dia sering memandang diri sebagai sang Muslim Luther Iran yang terinspirasi Reformasi Protestan sebagai titik tolak reformasi Islam di Iran. Ia lalu berargumen bahwa buah Reformasi Protestan dan kompetisi dinamisnya dengan Katolik telah membawa Eropa menuju reformasi dan kemajuan. Baginya, kemajuan dan reformasi Islam tak mungkin terwujud jika orang Islam tak memetik hikmah dari Reformasi Protestan. Karenanya, Afghânî berargumen Islam memang butuh seorang Luther untuk mewujudkan reformasi Islam model Protestan. Prinsip dasar pun ia jabarkan: (1) mirip seruan Luther untuk kembali kepada Bibel, reformasi Islam model Afghânî juga berupa seruan untuk kembali pada Al Quran sebagai kitab suci progresif; dan (2) seruan membuka kembali pintu ijtihad untuk menemukan kembali spirit Al Quran yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban. Baginya, Al Quran dengan sendirinya rasional dan progresif jika ditafsirkan secara rasional dan progresif. Dan, penafsiran Al Quran yang tepat, demikian Afghânî menambahkan, haruslah bercorak rasional, progresif, filosofis, dan ilmiah sebagai pembacaan alternatif terhadap penafsiran Islam yang statis dan fatalistik di kalangan ulama konservatif.
Ulama, Penulis, dan Ahli Berdebat22-05-2004 / 08:09:00 Ulama, Penulis, dan Ahli Berdebat
Beliau adalah ulama yang dikenal sangat berpendirian teguh dan ahli dalam berbagai ilmu keagamaan. Pembaru terkemuka dari kalangan Persatuan Islam (Persis) ini, juga terkenal sebagai politikus ulung. Mengutip buku Ensiklopedi Islam, dikatakan bahwa tokoh ini lahir tahun 1883. Nama asli beliau adalah Hassan bin Ahmad dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Hassan Bandung ketika sudah tinggal di kota Bandung. Saat masih menetap di Bangil, biasa dipanggil dengan Ahmad Hassan Bangil. Ayahnya bernama Ahmad, merupakan seorang penulis dan wartawan yang memimpin majalah bulanan Nurul Islam yang terbit di Singapura. Sedangkan ibundanya, Maznah, adalah wanita asal Madras, India, dan juga memiliki asal-usul dari Mesir. Keduanya menikah di Surabaya dan lantas pindah ke Singapura. Di negara pulau kecil inilah, Ahmad Hassan lahir dan dibesarkan. Pada mulanya, sebagai anak laki-laki, oleh ayahnya Ahmad Hassan diinginkan meneruskan jejaknya menjadi penulis. Seiring dengan itu, semenjak kecil, ia sudah mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya. Di usia 7 tahun, Hassan muda mulai mempelajari kitab suci Alquran serta pengetahuan dasar keagamaan. Hanya dalam tempo dua tahun, kedua pelajaran ini dapat dikuasainya karena ditunjang ketekunan dan kecerdasan. Setelah itu dia masuk sekolah Melayu selama 4 tahun untuk belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Pendidikan ini selesai 4 tahun. Kemudian, kegiatan menimba ilmunya banyak dilakukan dengan berguru pada sejumlah ulama. Di antaranya adalah Haji Ahmad Kampung Tiung, Haji Muhammad Taib Kampung Rokoh, Said Abdullah al-Munawi al-Mausili, Abdul Latif, Haji Hasan, dan Syekh Ibrahim India. Tak hanya ilmu pelajaran saja yang ditekuni, Ahmad Hassan juga terbiasa mengisi waktu luangnya dengan mengasah ketrampilan, seperti menenun dan bertukang kayu. Selain itu, di waktu tertentu dia membantu ayahnya di percetakan. Di usia remaja, Ahmad Hassan juga aktif menulis dan hal ini tentu sangat menyenangkan bagi sang ayah. Tahun 1909, karya tulisannya untuk pertama kali dipublikasikan dan dia pun diangkat menjadi pembantu surat kabar Utusan Melayu, terbitan Singapura. Tulisan-tulisannya banyak mengandung kritik konstruktif khususnya bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Masih banyak kegiatan yang dia lakukan. Seperti misalnya, saat bekerja menjadi guru di madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat di Singapura. Di samping itu, di luar jam mengajar ia masih pula mencari nafkah dari sumber-sumber yang halal. Tercatat, ia pernah menjadi pedagang batu permata, agen es, pedagang pakaian, penambal ban mobil dan selama setahun menjadi kerani kepaka di Pilgrim Office yang mengurusi perjalanan haji ke Tanah Suci. Ahmad Hassan baru kembali ke Indonesia, tepatnya ke Surabaya, pada tahun 1921 saat mengurus toko kain milik guru sekaligus pamannya, Haji Abdul Latif. Kebetulan berada di kota itu, dia menyaksikan pergolakan pemikiran keagamaan yang sedang hangat antara kaum muda dan tua. Kaum tua mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat. Sementara itu, para pemuda ingin menghapuskan segala sesuatu yang tidak punya landasan Alquran dan Hadis Nabi. Awalnya, Ahmad Hassan cenderung sepakat dengan pendapat kaum tua. Pada waktu itu, dia bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh NU. Tak lama, keduanya lantas bersahabat dengan wakil kaum tua ini. Namun lama kelamaan, saat harus menghadapi persoalan yang muncul, dia menjadi kurang puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh kaum tua. Beberapa saat kemudian, ia bertemu dengan seorang pedagang dan ulama asal Sumatra Barat bernama Pakih Hasyim. Ulama ini telah banyak mendalami pemikiran pembaruan kaum muda di tempat asalnya. Dengan segera saja, keduanya menjalin pertemanan yang akrab. Kendati demikian, usaha dagang yang dijalaninya tidak berhasil baik. Toko yang ia kelola mengalami kemunduran hingga terpaksa dikembalikan kepada Haji Abdul Latif. Selanjutnya, dia menggeluti usaha tambal ban serta mempelajari cara bertenun di Kediri. Tahun 1942, Ahmad Hassan meneruskan sekolah tenunnya di Bandung dan tinggal di kediaman keluarga KH M Yunus, yang dikenal sebagai pendiri Persatuan Islam (Persis). Sejak itulah ia kembali terlibat urusan keagamaan. Waktu berlalu dan ketika usahanya tidak lagi punya prospek cerah, Ahmad Hassan mencurahkan daya pikirannya untuk memajukan Persis. Oleh sahabat-sahabatnya, dia diminta untuk menjadi guru agama dan menetap di Bandung. Akan tetapi, pada saat luang, dia pun meneruskan bakatnya yang lama yakni menulis. Buah karya pertamanya yang mendapat sambutan luas masyarakat, yakni yang berjudul Tafsir al-Furqan. Tulisan tersebut dicetaknya sendiri. Pada masa itu, dia berkenalan dengan Soekarno. Perkenalan ini bermanfaat besar dalam mengenal agama Islam secara lebih mendalam, meski di sana sini timbul benturan pemikiran di antara mereka. Selain itu dia pun berkenalan dengan M Natsir. Bersama Natsir, keduanya kemudian menerbitkan majalah Pembela Islam dan majalah Al-Lisan. Di kedua majalah itu, Ahmad Hassan memperlihatkan sosok dan kapasitas pribadinya sebagai pembela, pemurni, dan pembaru Islam. Namanya pun menjadi terkenal di pelosok Nusantara, Malaysia bahkan Singapura. Ketika membela panji-panji ajaran Islam, Ahmad Hassan tak hanya melakukannya lewat karya tulisan, tetapi juga melalui perdebatan lisan. Kepiawaiannya dalam berdebat itu menyebabkan banyak lawan debatnya kalah dan kembali ke jalan yang benar. Satu hal penting, dia tidak pernah memilih-milih lawan berdebat. Siapa saja, kapan saja, dan dimana saja debat akan dilakoninya asal demi upaya menegakkaan ajaran Islam. Persis kian dikenal masyarakat luas seiring kiprah keagamaan dari Ahmad Hasaan. Setelah itu, pada tahun 1941, dia hijrah ke Bangil. Di tempat baru tersebut, dia masih tetap bersemangat mengembangkan Persis, menulis, bertablig, dan berdebat. Berdasarkan catatan, Ahmad Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih (usul fikih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Beberapa karyanya yang cukup populer adalah Soal-Jawab, Tafsir al-Furqan, Pengajaran Shalat dan at-Tauhid. Dia menunaikan ibadah haji di tahun 1956. Pada saat berada di Tanah Suci, Ahmad Hassan jatuh sakit hingga terpaksa dibawa pulang kembali. Kemudian tertimpa lagi penyakit baru, yakni infeksi yang menyebabkan kakinya harus dipotong. Tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada usia 71 tahun.
Author :
PercikanIman.ORG

Created:
Dewi erlina
Nunung nurhasanah
Sherly afriany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar